Selasa, 02 Desember 2008

Mengapa Jalan Begitu Ramai??

Jalanan begitu ramai pada sore hari
- dimulai pada sekitar jam 5 -

Mengapa orang-orang di jalan sama-sama
: "Pulang kerja!"
Mengapa orang pulang kerja sama-sama
: "Pengen cepet sampe rumah!"
Mengapa orang-orang pengen cepet sampai rumah sama-sama
: "Pengen langsung istirahat!"
Mengapa orang-orang pengen langsung istirahat sama-sama
: "Biar besok bisa fit bekerja lagi!"
Mengapa orang-orang bekerja lagi sama-sama
: "Biar gak telat saat check clock!"
Mengapa orang-orang gak mau telat check clock sama-sama
: "Soalnya takut di pehaka!"

Loh, gimana kalau kena pehaka semua
Biar jalanan tak ramai sama-sama
Ato
Gimana caranya supaya tidak check clock sama-sama
Biar gak berangkat lewat jalan sama-sama
Biar gak pengen cepet istirahat sama-sama
Biar gak pengen sampe rumah sama-sama
Biar gak pulang kerja sama-sama
Biar gak di jalan sama-sama

Biar gak sih?

Selasa, 25 November 2008

Jalan Yang Basah

Jalan Raya ini
Selalu basah oleh
Keringat tukang sapu
Peluh dan liur sempritan polisi
Padahal bulan sedang kering
Matahari sedang garang
Dedaunan yang sedikit ranggas
Panas

Lantas jika musim kita
Jadi penuh hujan
Penuh awan
Jalan Raya ini
Kembali basah oleh
Sisa tetes hujan
- yang tak sekedar menetes -
Selokan tak cukup lebar
Kali tak cukup dalam
Aspal tak cukup meresap
Kemana air akan mengalir?
Kemana air akan mengalir??
Kemana air akan mengalir???

Mengapa jalanan tak pernah bersahabat
Entah kepada Air
Entah kepada Udara
Entah kepada Tanah
Entah kepada kita

Bulan-bulan inikah
Yang kelak selalu tercatat
Sebagai bulan penuh kubangan?
Sebagai bulan penuh jebakan?
Bulan seperti arisan
Hadir setiap penanggalan
Tahun lalu, tahun ini
Tahun akan datang?
Diantara reklame pajak pembangunan
Diantara senyum calon anggota dewan
Disela kibaran ribuan bendera parpol
-yang tertancap di pohon-
Dimana jalan yang nyaman
Bagi sebuah perjalanan

Jalan yang basah
Bulan yang basah
Hari yang basah
Metropolitan yang basah

Selasa, 23 September 2008

Jalan Raya Kita

Aku di ambang batas nyawa
Meregang nyaris terputus
Menuju ruang binasa
Segala rasa yang bikin mampus

Nyawaku bias di jalan raya
Gigil akut ngilu luka
Menggumpal jadi dendam
Sekeras hati takut karam

Percakapan kita di ujung trotoar
Tak cerminkan galau ikrar
Bukan pula sebuah cerita tengkar
Semacam tali biar tak ingkar

Dilaju roda dua
Disenyap lafaz doa
Dikedip pesan-pesan singkat
Jalanku-jalanmu tak sekarat

Kamu
Kaku
Biru
Memburu

Aku
Malu
Bisu
Palsu

Selasa, 09 September 2008

Antara Aku, Istriku dan Jalan Raya

Kau masih menjaga kekhawatiranmu
Pada tingkat yang
Akut
Perihal perjalanan
Menjadikanku paranoid pada aspal
Juga phobia pada malam kelam
Jalanan legam hitam keras

Kau masih menjaga khawatirku
Lewat khawatirmu
Biar aku sigap lewati marka
Hingga kita jumpa di beranda
Timang jabang bayi
Gamang siram polusi

Kau tetap terjaga dengan khawatirmu
Jadi semacam sujud syahdu
Antara kau bertahajud
Aku merawat kalut
Kau di ruang tasbih
Aku di jalan pamrih

Kau terus bersetia pada doa
Berharap bisa kawal roda

Selasa, 26 Agustus 2008

Ingatan

Jalan Raya ini mengingatkanku tentang ini
Jalanan anu mengingatkanku pada si anu
Jalanan yang itu mengingatkanku pernah begitu
Jalan x aku pernah bertemu a
Jalan y aku pernah sampai b
Jalan z aku hampir saja c
Jalan 2 dekat gedung m
Jalan 1 tak terlalu jauh dari n
Jalan 0 aku 0

Senin, 04 Agustus 2008

Monolog Jalanan

ini dia yang semakin membawa kontras siang-malam jalanan kota buaya yang seperti sekarang ketika jalanan semakin lengang saja ketika arloji sudah menuntun pada dinihari padahal jalanan selalu memberi harapan pada tujuan dan rumah sehingga bisa membawa setapak langkah pada harapan-harapan yang seringkali terbangkalai ketika siang bersama asap dan hembusan angin yang muncul dalam tanda gambar daun yang gugur bendera partai yang berkibar gagah juga pada rambut ikal bocah ingusan pedagang koran kriminal terbitan kota buaya dengan oplah buesar yang tergerai kaku
sementara aspal yang kaku hitam memanjang makin terasa turut membantu meyalurkan hawa dingin ke ngilu tulang para pejalan malam berjaket tebal berhelm teropong bersarung tangan berselendang sarung yang mengarah ke pasar kali dermaga atau terminal namun tetap tak menyembunyikan sirat gagah pada tiap tatap mata dan ulas senyum
jalanan malam hampir subuh biar biar tanpa marka tanpa zebra cross tanpa traffic-light hanya kadang ada beberapa bapak polisi yang budiman cari yang lalai
hahahahahahahahahahahaaaaaaaaaa

Kamis, 24 Juli 2008

Dialog di Jalan Raya

Cit cit ciiit ciiiiiiiittt....

Thiiiiiiin thiiiiiiiiiiiiinnnn....

Jancok, asu raimu....

Senin, 21 Juli 2008

Yang (kadang) Terabaikan di Jalan Raya

Lampu merah-kuning-ijo
Marka panjang-putusputus
Pe dicoret
eS dicoret
Penjual koran
Penjual mainan
Penjual minuman
Penyebrang jalan
Zebra cross
Polisi cepek
Polisi tidur
Patung polisi
Sesama pengendara
Sesama pelanggar
Sesama sopir
Batas maximal kecepatan
Bekas gesekan aspal-ban
Pecahan kaca kristal
Kamu
Aku
Mereka
Luka
Waktu
Nyawa

Senin, 14 Juli 2008

Jalan Ini 2

Jalan ini sayang
Yang kan membawa kita pada
Riuh pekik makian
Sebab senyum kita selalu kalah
Dari papan reklame produk pasta gigi
Atau senyum bapak-ibu calon gubernur

Jalan inilah sayang
Yang mengibarkan lantas mengobarkan
Panji-panji luka penghuni kota
Beriak teriak menuntut hak
Akibat mulut busa presiden kita
Yang santun tapi congkak

Jalan ini juga sayang
Yang kan kita napak tilasi
Sebagai rute kesakitan
Juga,
Sebagai peta perlawanan

Jalanan Yang Berubah Jadi Karpet Merah

Jalanan telah berubah menjadi
Karpet merah bagi para sosialita
Juga buat eksekutif muda
Juga para (calon) penguasa
Lalu lalang yang riuh
Menyambut sekian acuh

Jalanan telah menjadi
Karpet merah mulus
Dihias umbul-umbul
Selingan ribuan bendera
Gambar partai atau wajah senyum
yang
Siap merubah kepala jadi sekadar
Angka...

Jalan semakin menjadi
Karpet merah (ber)darah
Algojo penghancur bocah
Digendongan yang nampak susah
Berebut satu dua tiga langkah
Dengan asap dan mercy pongah
Tinggal pilih
Mana gajah mana pelepah

Jalanan hanyalah karpet merah
Kadang juga
Pengasingan bagi yang
Kalah...

Senin, 07 Juli 2008

Suara Kerikil

Lalu sedikit demi sedikit, tergerus
Menjadi kerikil yang endap

Juga suara-suara,
Enyah kena angin
Tiup ke arah pantai
Lantas hilang, digulung ombak
Atau melaju ke kota
Sepi terlindas roda-gedung-sampah-kali
Hingga lenyap bareng
Asap daei knalpot-cerobong-pabrik
Suara-suara selaksa kerikil
Semakin mengendap, kecil-kecil

Suara-suara tak kan sampai
Ke telinga tujuan
Suara-suara
Mengecil
Jadi
Teriakan...
Makian...

Kamis, 22 Mei 2008

Aaahh

Aku lelah
Untuk menunggu perubahan
Aku lemah
Untuk membuat perubahan
Ini
Sudah satu dekade
Sudah

Rabu, 07 Mei 2008

IKRAR

buat Tristan: putraku

Aku mungkin tak akan memberikanmu
Sebilah belati atau sehunus keris
Biar kau berani dan berbekal,
Aku juga tak akan berikanmu
Selusin pena atau setumpuk kertas
Setimba tinta atau segudang benang
Aku tak akan sanggup memberimu apa-apa
Sebab tak ada harapan pada barang-barang
Aku hanya akan memberimu
Senyum.

Kamis, 17 April 2008

Jalan Ini 1

Jalan ini
Aku jadi rindu pada pepohon
Yang meneduhiku dari terik
Lewat dahan dan daunnya

Jalan ini
Mengembalikanku pada rancak
Lelangkah yang terkejar
Demi susu anak dan belacu emak

Jalan ini
Malam menggulingkanku, sesak
Pada rembulan yang tertutup merkuri
Aku ambruk ditengguk arak

Jalan ini
Aku jadi rindu pada bambu
Yang sempat pagari hati
Rapat anyaman aku dan Ibu

Senin, 14 April 2008

Hujan Pagi Itu

Iya,
Jika ada hujan
Aku selalu terkenang p_ea
Pembawa banyak cerita
: tentang hujan (saat senja)
Ada Hujan Yang Sebentar
Rumah Hujan
Juga hujan yang diwakilkan pada
Badai Bulan Desember

Iya,
Hujan datang
Pada pagi itu
Dan aku
Berteduh di payung penjual baju
Di samping Tugu Pahlawan
Iya,
Hujan pagi itu
Tak sempat mengingatkanku
Pada p_ea

Senin, 17 Maret 2008

Apa Dia Tahu?

Apa dia tahu siapa bapaknya?
Apa dia tahu siapa emaknya?
Apa dia tahu siapa yang menggendongnya?
Apa dia tahu siapa yang membelikannya nasi?
Apa dia tahu untuk siapa orang berempati?
Apa dia tahu berapa duit yang didapat karenanya?
Apa dia tahu mulai kapan dia di perempatan?
Apa dia tahu sampai kapan dia di perempatan?
Apa dia tahu dunia selain perempatan?
Apa dia tahu bocah seusianya yang selain di perempatan?
Apa dia tahu asap telah dihirupnya sekian waktu?
Apa dia tahu bahaya lampu merah selalu?
Apa dia tahu?

Minggu, 16 Maret 2008

Senin Pagi

Sepagi ini sebuah Senin
Selalu
Jalanan yang sesak
Mobil berebut dengan motor
Becak berebut dengan ojek
Angkot berebut dengan bis kota
Asongan berebut dengan pengemis
Aku berebut dengan kantuk
Juga suntuk

Kamis, 13 Maret 2008

Atribut Jalan Raya 3

Disana, dia tidur
Disana, dia makan
Disana, dia menangis
Disana, dia mencari uang
Disana, dia menengadahkan tangan
Disana, dia memegang tutup botol
Disana, dia menjajakan koran sore
Disana, dia hirup asap knalpot
Disana, dia batuk-batuk
Disana, dia kehujanan
Disana, dia kedinginan
Disana, dia sakit

Rabu, 12 Maret 2008

Aku Jalan Tengah Malam

Aku jalan tengah malam
Ada yang berjajar jajakan diri
Bukan, bukan lelaki
Perempuan, seksi
Di sekitaran Pangsud
Hingga dini hari

Aku jalan tengah malam
Dari gedung anggota dewan kota
Kekanan susuri tepian Kalimas
Bersandar pada pagar di trotoar
Lelaki gagah dengan press-body T-shirt
Kadang sendiri-berdua-bertiga

Aku jalan tengah malam
Kembang kuning, Diponegoro
Remang kuburan Cina
Jadi tempat sukasuka
Bukan laki juga wanita
Waria saja, waria saja

Aku jalan tengah malam
Dari simpang lima Pasar Burung
Naik
Berderet etalase, penuh sofa
Ditawarkan lelaki bersafari
Beberapa pakai Batik,
Ini katanya yang paling gede se-Asia Tenggara
Komplit dari yang
Hampir remaja sampai setengah baya
Yang langsing sampai segembrot tebing

Aku jalan tengah malam
Aku jalang tengah malam
Jalan Surabaya tengah malam
Jalang Surabaya tengah malam

Senin, 10 Maret 2008

Semoga Kamu Lupa Cara Berjanji

Semoga kamu lupa cara berjanji
Sebab jika kamu masih berjanji
Pasti akan ada yang nagih
Sudah capek dengar janji
Sebab kamu memang sudah sering berjanji
Juga teman-temanmu se-rumah itu
Semua pada pinter bikin janji
Janji, jadi semacam program
Kayak sesuatu yang sudah diatur sama Undang-Undang
Kayak hasil musyawarah mufakat

Semoga kamu lupa cara berjanji
Sebab jika kamu masih janji
Pasti banyak yang nagih
Sebab kami sudah sangat mangkel
Ati-ati kamu........

Kamis, 06 Maret 2008

Atribut Jalan Raya 2

Sekian rupa bendera
Berjajar di ujung galah
Coba tebar pesona nama dan tanda gambar
Segala senyum semua pesona
-seringkali berpeci dan berdasi-
Sombong dan rakus kuasai pagar dan trotoar
Pongah tersapu angin musim hujan
Siarkan janji:
"Kamilah golongan yang bisa mendengar
dan memperjuangkan suara anda, Saudara
jadi ingat kami kala Pilkada dan 2009"

Sekian besar sekian lebar
Terbentang di atas atap
Kampung padat atau pasar pengap
Juga di pembatas jembatan penyebrangan
Atau berjajar di atas trotoar
Jadi kerlap-kerlip menyilaukan
Tebarkan ancaman perihal (seolah) kebutuhan:
"Belilah kami, belilah kami, belilah kami"

Di tiap tepian jalan raya
Di tiap atas jalan raya
Menjadi lahan expo
Menjadi stan pameran
Kita yang lewat,
Sekedar calon
Calon pemilih
Calon pembeli
Kita yang lewat,
Sudah pasti
Pasti jadi korban
Pasti jadi sasaran
Siap?

Atribut Jalan Raya 1

'Seorang ibu membawa bayi di perempatan. Tangannya menengadah dengan wajah memelas, tangan itu menyentuh kaca jendela mobil yang tertutup.' *)

Pucuk-pucuk tiang lampu lalu lintas
Jadi semacam antena yang sebar signal
Siap sebarkan segerombol emak-anak
Mencoba ketuk jendela, atau kita?

Jalan raya jadi monumen
Bagi mereka yang bekerja
Tunggu tanda merah dari ujung tiang
Tunggu tangan yang mengulur koin
Tak peduli wajah dari dalam yang acuh

Jalanan Surabaya, juga yang lain
Membuka ruang jadi peluang
Manusia-manusia dari entah
Yang seolah saling berbagi
Entah berbagi resah atau risih

*) Dikutip dari "Bayi dalam Gendongan: Sebuah Teater Jalanan" yang termuat dalam buku "affair, obrolan tentang jakarta", Seno Gumira Ajidarma, 2004, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta.

Rabu, 05 Maret 2008

Kabar Dari Antrian.....

Kamu mengirimkan kabar lewat:
Jerigen-jerigen kosong
Juga tatap mata yang kosong
Juga antrian panjang berliuk yang panas
Yang tersiar pada lembar koran,
Layar TV, suara radio, juga berita on-line internet
Dan beberapa kali di depan mataku
Langsung..
Aku melihat sendiri, aku benar-benar melihat sendiri
Berjam-jam antrian merambat saja
Harap-harap cemas, 'dapat berapa liter hari ini?'
Atau 'semoga masih ada sampai tiba giliranku'
Atau 'buat masak nasi, biar bisa jualan gorengan,
biar ada bebek goreng dan pecel lele malam nanti'
Aku terdiam saja melihat,
Tanpa bisa membantumu
Sumpah aku tak bisa membantumu....

Konversi ke tabung
Tak jadi solusi
Kamu bilang
"Aku tak biasa pake elpiji, takut meledak"

Kalian memberi kabar melalui:
Tawa renyah bawa pop-corn
Di lobbi dingin 21
Juga harum Seventeen atau She
Pengen lihat Ayat-Ayat Cinta
Yang nyastra dan ngreligi
Harap-harap cemas, 'dapat tiket gak sore ini?'
Atau 'semoga masih ada sampai tiba giliranku'
Atau 'buat crita ke Veve, biar gak kalah gaul'
Aku lihat sendiri
Sumpah
Aku gak bisa gabung
Antrianmu terlalu dingin
Antrianmu terlalu mahal
Gak papa kan?

Rabu, 27 Februari 2008

Brubah

Tak lagi kulihat ilalang
Tak lagi kulihat belalang
Tak lagi kulihat layang-layang
Tak lagi kulihat tanah lapang
Tak lagi kulihat kebun pisang
Tak lagi kulihat petani punya ladang
Tak lagi kulihat bocah bermain pelepah pisang

Perlahan kini telah jadi kawat baja
Telah jadi paving yang rata
Telah jadi aspal jalan raya
Telah jadi perumahan orang kaya
Telah jadi sarana golf saja
Telah jadi kompleks yang dijaga
Telah jadi permainan segala wahana

Aku lupa dengan petak umpet
Sebab sekarang anak-anak punya gadget

Jumat, 22 Februari 2008

Salam Marah Salam Rindu

Pada tebal botol-botol bir
Pada coklat filter-filter tembakau
Pada kental seduhan-seduhan kopi
Aku lampirkan kesal
Setiap sesal yang sengal
Aku lampirkan badai
Yang lalai aku urai
Iya, marahku....
Menguap bareng bir
Melenyap bareng asap tembakau
Mengendap bareng kopi

Kemarahanku lurus saja
Di tanah-tanah datar beraspal
Di latar-latar datar ber-paving
Tak pernah menghantam apapun
Tak pernah membentur siapapun
Kemarahanku lurus saja

Kerinduanku pelan saja
Di jalan-jalan penuh absenan mobil
Di pasar-pasar riuh maki mahal harga
Kadang,
Mampir di perempatan-perempatan monumen pengemis
Singgah di median jalan sumbangan Masjid
Tak pernah sampai ke manapun
Tak pernah berhenti kapanpun
Kerinduanku pelan saja

Pada tebal botol-botol bir
Pada coklat filter-filter tembakau
Pada kental seduhan-seduhan kopi
Aku sampaikan salamku
Bagi kawan-kawan malam
Bagi kepala-kepala bebal
Bagi kaki-kaki berkeringat
Bagi yang marah, bagi yang rindu